Sains
Adopsi yang kurang dapat dipertanggungjawabkan
By: Ade Rama Kamanjaya
POLTEKKES KEMENKES MALANG KAMPUS 2
Untuk keluar dari kebingunan semantik
yang melanda terminologi ilmu pengetahuan, maka diperkenalkan kata “sains” yang
dipinjam dari bahasa inggris yakni science. Bahkan kata
“sains” telah digunakan dalam beberapa hal yang secara sah seperti dalam gelar
Magister Sains. Dalam struktur bahasa Indonesia pembentukan kata sifat dengan
kata dasar sains agak janggal. Hal tersebut dapat kitalihat sepertidalam kata Scientific, sekiranya
sains adalah sionim dengan science, adalah ke-sains-an atau saintifik dan
Scientist adala sains-wan atau saintis.
Terminologi
science dalam bahasa asal penggunaannya sering dikaitkan dengan natural science
seperti teknik. Economis, sering dikonotasikanbkan science, namun social studies,
termasuk kedalamnya social science lainnya. Dengan demikian maka terminologi
science sering dikaitkan dengan teknologi. Hal ini, meskipun tidak disengaja
dan mungkin tidak disadari, menibulkan jurag antara ilmu-ilmu sosial dan
ilmu-ilmu alam. Sederhananya adalah bahwa ilmu-ilmu sosial bukanlah science,
atau paling tidak preferensi utama penggunaan kata science adalah untuk
ilmu-ilmu alam.
Pada
dasarnya ilmu adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu kenyataan yang
tersusun sistematis. Ilmu meupakan kegiatan berpikir untk mendapatkan
pengetahuaun yang benar atau secara lebih sederhana, ilmu bertujuan untu
mendapatkan kebenaran.
Kriteria
kebenaran adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik
berpikir. Dua karalteristk ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan yakni
meninggikan kebenaran dan pengabdian secara universal.
Seorang
ilmuwan terkenal C.P Show dalam bukunya sangat provokatif ”Two Cultures”
mengingatkan negara-negara barat akan adanya dua pola kebudayaan dalam tubuh
mereka yakni masyarakat ilmuwan dan masyarakat non ilmuwan yang menghambat
kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi.
Hal ini
juga diterapkan di negara kita dimana bidang-bidang keilmuan mengalami
polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini didasarkan pada
kecenderungan beberapa kalangan tertentuuntuk memisahkan ilmu kedalam dua
golongan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Namun, jika kita
menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang mencakup ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial, maka dualisme kebudayaan harus dihilangkan. Jika sekiranya
memang diperlukan pola-pola pendidikan yan berbeda, maka alternatifyang
ditempuh adalah bukan lagi pembagian jurusan berdasarkan keilmuan, namun
berdasarkan tujuan pendidikan matematika. Sebagaiaa kita ketahui tuuan tersebut
adalah:
·
Mencakup penguasaan matematka secara
teknis dan mendalam dalam rangka penalaran deduktif untuk menemukan kebenaran.
·
Penguasaan matematika sebagai alat
komunikasi simbolik.
Pada
tahap pendidikan yang tepat, maka seseorang diperkenankan untuk memilih jurusan
berdasarkan bakat matematikanya. Pembagian jurusan semacam ini meningkatkan
mutu keilmuan yang menekankan pada cara berpikir ilmiah dan membebaskan ilmu
dari wabah verbalisme yang bertentangan dengan semangat dan hakikat keilmuan itu
sendiri. Sehingga bagi mereka yang merindukan runtuhnya pagar yang membatasi
ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial, maka adopsiterminologi sains
ini berarti langkah mundur.
Bisa
saja kita sebenarnya menggunakan ilmu pengetahuan untuk knowledge, sains untuk
science, ilmiah atau keilmuan untuk scientific, namun kita tidak mengetahui
dimana struktur dan logika bahasanya. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita
menyimak pendapat Wittgenstein mengenai hal ini, yakni: ”Kebanyakan dari
pernyataan dan pertanyaan yangtekandung dalam ilmu filsafat adalah tidak salah
namun nonsensical. Konsekuensinya adalah bahwa kita tidak dapat memberikan
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini, meainkan hanya memapu
menunjukkan bahwa semua itu adalah nonsensical. Kebanyakan dari pernyataan dan
pertanyaan dalam filsafat ditimbulkan oleh kegagalan kita untuk memahami logika
dari bahasa kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar